Wonosobo,
24 April 2017
....Senja
kala itu dia memintaku untuk bertemu. Di sebuah taman kulihat ia duduk santai
sembari menunggu. Pelan aku menghampirinya dengan sedikit riuh dalam qalbu.
Singkat kami bercengkrama, ia mulai mengarah ke perbincangan serius. Kala kata
‘serius’ terucap dari lisannya hatiku berdegup, membuatku ikut serius memahami
tiap urai katanya sembari memikirkan kalimat yang harus aku rangkai untuk
membalasnya. Aku hanya mampu menanggapi seadanya karna hati yang berdegup
membuyarkan kata-kata dalam pikiranku. Ucapannya seolah menggambarkan bahwa ia
tak pernah mengutarakan suatu hal yang membuatku dahulunya menjadi yakin
dengannya. Entah mungkin aku menganggap itu sebuah janji atau mungkin hanya
angan kala Engkau sedang membalikkan iman. Dan manusia yang bisa
dipegang hanyalah ucapannya, dan setiap ucapan ada pertanggungjawabannya. Aku sudah membebaskannya dari segala
janji (barangkali sempat ia haturkan tanpa sengaja namun lupa atau memang tak
dianggapnya sebuah janji atau malah aku yang menganggapnya janji) karna
dahulunya aku pun tak ingin dia menjanjikan apapun untukku. Kini baru tersadari
dia dulu belum sedewasa yang dipikirkan Ibuku. Aku baik-baik saja saat itu
(hanya jantungku berdegup kencang), namun dalam munajatku kepada-Mu, tanpa
terasa pipiku basah. Bukan karena takut kehilangannya, melainkan karna aku
harus membuka sedikit hati. Bukan tentang perasaanku kepada-Mu, melainkan
tentang perasaan yang Kau selipkan dalam hati, yang sebelumnya kututup rapat
untuk satu nama yang selalu tersebut dalam do’a. Mungkin ini jua jawaban do’a
tentang hati yang merasa gundah menjalani hubungan tak pasti. Melalui dia, kini
aku mendapat kepastian yang selama ini aku tunggu, yaitu menunggu kata
‘kepastian’ itu terucap dari lisannya. Kepastian untuk belajar saling
mengikhlaskan, yang juga dia lakukan
sebelumnya pada seseorang. Entahlah, hanya Engkau Yang Maha Mengetahui segala isi
hati. Setelah waktu itu mengapa hatiku merasa kehilangan? Bayangannya
selalu nampak saat aku memohon kepada-Mu. Perasaan ini terasa sama kala aku
kehilangan Ibu, tapi aku tak tahu ini nafsu atau hatiku yang berkata, atau rasa kecewa atas
ucapan yang pernah diutarakannya tentang masa depan, ataupun ini
bekas kepahitan atas kepergian Ibu yang belum hilang. Apapun itu, aku selalu
memohon jangan Engkau palingkan aku dari-Mu. Takdir yang Kau beri sungguh
menguji hatiku dan tangis yang Kau beri selalu membuka mataku.. bahwa cinta
yang sebenar cinta hanya ada satu. Karena kekecawaan di masa lalu aku mampu mendekat
kepada-Mu dan karena kehilangan ini aku belajar bersyukur menerima
ketentuan-Mu. Rangkaian kalimat yang pernah kubaca “walau digenggam kuat, andai
ia bukan milik kita, ia terlepas jua, walau ditolak ke tepi andai ia untuk
kita, ia mendatang jua, itulah namanya jodoh” membuatku kembali tersadar. Tak
usah mengkhawatirkan jodoh, ia tak akan tertukar. Bukankah jodoh itu termasuk
rezeki-Nya? Allah telah berfirman “Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak
(bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui
tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang
nyata (Lauh Mahfuz) (Q.S. Hud: 6). Tiada dendam atau dengki atas ucapannya, ini
jua khilafku di masa lalu yang salah mengartikan kalimatnya, hingga kami
menjalani hubungan tak pasti. Kini aku harus siap menerima ketentuan-Mu,
termasuk mengikhlaskan bila nantinya bukan dia masa depanku. Tak hanya ia, aku
pun sadar kini diriku belum siap untuk menikah, maka jagalah hatiku dan hatinya
untuk masa depan kami masing-masing. Namun.. jika suatu saat aku sudah siap
menikah, perkenankanlah keinginanku wahai Rabb pemilik hati penyatu dua insan. Dan
saat itu belum terucap dalam hatiku, maka berilah aku kesempatan untuk selalu
memperbaiki dan memantaskan diri dihadap-Mu, mengharap penuh keikhlasan,
memohon kepada-Mu untuk menunjukkan, dengan sedikit merayu-rayu pada-Mu yang
tahu isi hatiku. Aku kembali tersadar, bahwa tak ada janji selain akad yang
terucap, dan janji sebelum akad itu bersifat lemah. Karena yang baik hanya
datang di saat yang tepat, terimakasih.. skenario-Mu selalu indah. (^_^)
Cinta
itu ibarat nahkoda yang sedang berlayar di tengah lautan yang akan menepi ke
pelabuhan, tanpa arah dan hanya mengandalkan perkiraan. Maka ia akan mengikuti angin
yang mengantarkannya ke tepi, selama perjalanan ke tepi, terkadang ada badai
atau karang menghadang. Jika berhasil menepi di suatu dermaga, terkadang masih
ada hambatan dimana kapal tak bisa berlabuh karna dermaga terlalu kecil, atau pasang
surut air laut yang membuat dermaga tenggelam atau menjadi daratan. Jika dermaga
tak bisa digunakan untuk melabuhkan kapal, maka nahkoda harus mengarungi lautan
kembali dan mencari dermaga lain. Maka mohonlah kepada Allah untuk menghadirkan
tiupan angin yang baik yang mengantarkan kapal ke dermaga yang tepat, dan jika Dia menghendaki, Dia akan menghentikan angin,
sehingga jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut (Q.S. Yunus: 22 dan
Q.S. Asy-Syura: 33).
“Ya Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu, labuhkanlah perasaan ini pada hati yang juga memohon kepada-Mu agar hatinya menjadi tempat berlabuh perasaan ini, aamiin yaa robbal ‘aalamiin”
“Ya Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu, labuhkanlah perasaan ini pada hati yang juga memohon kepada-Mu agar hatinya menjadi tempat berlabuh perasaan ini, aamiin yaa robbal ‘aalamiin”
hadehhh
BalasHapus