“sampai disini paham?”, tanyaku.
“Iya, Insya Allah”, jawabnya.
Karena ia menjawab begitu aku lanjutkan materi dan memberinya tugas. Tapi ada yang mengganjal di hati, kenapa dia tidak bisa mengerjakan? Apakah aku terlalu cepat? Ku ulang kembali langkah-langkah mengerjakan soal. Karena hari itu aku mengajar privat, maka aku tak menuliskannya di papan tulis, namun di buku kosong. Selesai soal tadi terbahas, aku beri ia soal kembali untuk dikerjakan, kali ini langkah-langkah sudah benar, tapi ia nampak sedikit ragu, benar saja tak berapa lama ia mengatakan bahwa cara yang diajarkan di sekolah berbeda dengan cara yang ku ajarkan. Ku lihat catatannya dan ku ulang kembali cara menyelesaikan soal dari awal tadi. Ternyata waktuku tak banyak, kali ini aku melebihi waktu tutupnya bimbel, yaitu 17.40, karena sudah mulai paham, maka ku beri ia PR dan bila dapat mengerjakan benar, aku berjanji memberinya hadiah. Pulang ke kost menjelang adzan Maghrib, sampai di kamar, wow.. sudah ada kasur serta bantal dan guling yang tertata rapi. Tak berapa lama kemudian adzan Maghrib berkumandang, ketiga anak perempuan ibu kost mengajak aku dan mbak untuk sholat berjamaah di Mushola. Seusai sholat, aku dan mbak langsung menata barang-barang kami yang belum sempat tertata tadi siang.
“Mbak, ayo.. disuruh ibu makan malam bareng”, ajak putri sulung ibu kost.
Alkhamdulillah.. beruntungnya tadi belum membeli makan malam (rencana ba’da Maghrib). Ibu kost memang baik, seorang istri solehah yang mampu menjaga harta dan dirinya ketika suaminya pergi jauh. Suami ibu kost bekerja di Surabaya dan pulang satu atau dua kali sebulan.
Keesokan harinya (14/02) aku dan mbak bangun dengan mata setengah terbuka. Waktu menunjukkan pukul 05.10, hari masih gelap, tak ada perasaan aneh kala itu saat kulihat paving depan kost berwarna putih, sewaktu hendak berwudhlu di kamar mandi, aku mendengar beberapa orang sedang berbincang di jalan depan rumah ibu kost. Seusai sholat, ada sebuah pesan masuk dari temanku, berisi bahwa pagi ini di Wonosobo hujan abu. Aku yang belum sadar mengira disini tidak hujan abu, namun setelah berbincang sedikit lebih lama dan mendapat kepastian bahwa gunung Kelud meletus, rasa penasaran memaksaku untuk membuka pintu kamar, dan ternyata.. astaghfirullah.. genteng rumah ibu kost berubah menjadi putih kelabu dengan rintik-rintik abu yang masih deras. Aku terkejut dan memberitahu mbak, awalnya ia sudah merasa aneh, abu yang turun dalam cahaya lampu kamar mandi dikiranya debu biasa, tak berapa lama rintik-rintik hujan mulai berdenting, terdengar teriakan ibu kost dari seberang kamar memberitahu kami bahwa hujan abu dan menyuruh kami untuk masuk ke rumahnya. Putri sulung beliau menjemput kami dengan sebuah payung. Tak ku sangka hujan ini bukan hujan air biasa, melainkan bercampur pasir, jilbab putih polosku kini bermotif titik butir pasir dan air di bagian lengan sebelah kanan. Sungguh ngeri menyaksikan kejadian itu. Jika kata ‘mereka’ tanggal ini sebagai hari v*l*n*t*n*, maka Allah berkata lain, dan kejadian ini membuktikan ke Maha Agungan-Nya, sebagai pelajaran untuk kita yang lalai terhadap-Nya.
“hari pertama kost malah disambut seperti ini ya mbak”, ujar ibu kost.
Setelah hujan reda, aku dan mbak pamit kembali ke kamar, lalu kami diberi sarapan berupa gorengan dua gelas teh hangat.
“cuaca seperti ini tidak ada yang jual sarapan”, tutur beliau sembari menyodorkan nampan berisi gorengan dan dua gelas teh hangat.
Genteng rumah ibu kostang tertutup abu
Jalan yang tadinya aspal berubah layaknya tanah
Keluar gang menuju jalan raya
Jalan yang tadinya aspal berubah layaknya tanah
Keluar gang menuju jalan raya
Tebalnya abu memperpendek jarak pandang
Putar arah
Abu menutupi aspal di sebelah kiri
Jalan yang biasanya ramai kini tampak lengang
Dan di tengah jalan yang hampir sampai di rumah nenek, ada kerumunan kerbau, hihi.
Sampai di rumah nenek ternyata abu tak setebal seperti di daerah Blondo tadi. Meletakkan barang-barang, kami langsung menggoreng dan mengukus frozen food yang sudah kami beli di tempat ibu kost untuk dijadikan cemilan dan lauk makan siang. Lapar membuatku banyak menghabiskan mantao, hihi dan alhamdulillah kenyang. Benar kata mbak, cuaca tak menentukan, bimbel diliburkan, dan rumah nenek jadi incaran (^_^). Malam hari ba’da Isya’, motor mio merah yang menemani perjalanan hari itu kami cuci karena sangat kotor terkena abu dan hujan pasir tadi pagi. Kami menginap semalam di rumah nenek dan keesokan paginya (15/02), kami berangkat ke kost lebih awal, sektar pukul 07.15. Degan mengendarai motor mio biru sekarang, kami berboncengan menuju Blondo. Sampai di kost, aku langsung mendahului mbak menjemur pakaian yang sudah kami cuci sebelumnya di tempat nenek. Ibu kost yang keluar terkejut dengan motor kami yang berubah warna.
“lho mbak motornya kog jadi biru?” tanya ibu kost heran.
Pukul 11.00 lebih kami berangkat ke tempat bimbel, dan seperti biasa sudah ada teman mbak yang stay on disana. Setelah sholat Dhuhur aku menanti jam sembari duduk di sofa.
to be continued..
0 komentar:
Posting Komentar