Diangkat dari buku “Ya Allah Aku
Jatuh Cinta”
Ya Allah, yang membolak-balikkan hati kami..
Selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya
mencinta
Namun, aku berharap bila cinta hadir menyapaku aku
tidak kehilangan Engkau
Ya Allah, selama ini aku hanya berharap
Semoga bisa mencintai
Orang yang memiliki cinta yang luar biasa kepada-Mu
Ya Allah, selama ini aku juga berharap
Semoga bisa dicintai
Oleh orang yang bisa mengarahkan
Menuju keridhaan-Mu
Pintaku Ya Allah,
Ijinkan aku memiliki rasa ini
Hingga ia menjadi indah di dada kami
Tanpa mengurangi rasa cinta kami kepada-Mu..
Sebuah
kisah masa lalu yang hadir di benakku..
CINTA,
kata yang membuat pikiran seseorang melayang jauh dalam sebuah angan, sebuah
kata yang mampu mengalahkan berbagai rasa terutama rasa takut, dan sebuah kata
yang banyak membuat kaum muda-mudi terjerumus dalam jurang zina.
Islam
memandang cinta sebagai sesuatu yang biasa dan sederhana. Cinta itu sendiri
adalah fitrah kemanusiaan. Allah Subkhanahu Wa Ta’ala telah mananamkan perasaan
cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak melarang seseorang untuk
dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam
menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka
hendaklah dia memberitahu bahwa dia mencintainya.” (HR Abu Daud dan
At-Tirmidzi)
Seorang
muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai. Mereka juga tidak
dilarang untuk jatuh cinta. Hanya saja, Islam menyediakan penyaluran untuk itu
melalui lembaga pernikahan. Hal ini menjadi sebuah tuntunan dalam menjalankan
agama, bahwa ketika hamba Allah jatuh cinta hanyalah pernikahan solusinya.
Namun,
cinta yang kurang tepat penempatan dan pemahamannya akan menjadi cinta yang
tidak fitrah, cinta yang hanya menuruti hawa nafsu, ketika itu terjadi maka
cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta akan bergeser tingkatannya yang
semestinya diutamakan pada tingkat teratas berbalik menjadi tingkat kedua,
ketiga ataupun terakhir (Na’udzubillahimindzalik). Cinta memang tak memandang
seseorang, keren, pendiam, gaul, soleh dan solekhah, dan lain-lain semua tak
luput dari kata cinta. Semoga cerita berikut mampu menjadi pelajaran serta
renungan bagi pembaca yang budiman.
Assalau’alaikum..
namaku Ran, dimana akulah gadis pendiam dan pemalu. Ini kisahku bagaimana
seseorang mengenalku…
Aku tinggal
didaerah yang memiliki hawa sejuk, ya.. disebuah kota yang ASRI, Wonosobo. Aku
menamatkan sekolah dasarku pada tahun 2006, dari sebuah SD yang mungkin belum
banyak dikenal, SD N 9 Wonosobo. Disinilah aku menimba ilmu untuk jenjang
berikutnya, alkhamdulillah.. aku diterima di sekolah menengah pertama
terfavorit di kotaku, SMP N 2 Wonosobo dan lulus pada tahun 2009. Masa-masa saat itu belumlah
membuatku mengerti tentang perasaan, aku tak pernah dekat dengan lawan jenis
dan terkenal sangat polos. Aku tergabung dalam teman-teman yang menurutku wow,
dan memang benar bahwa lingkungan mempengaruhi perilaku seseorang, saat itu
perilakuku bergeser sedikit dari diriku yang sebelumnya. Aku belum mengenakan
hijab waktu itu, namun entah mengapa ada niat dalam benakku untuk mengenakannya
saat masuk SMA nanti. Sempat ada perasaan ragu (tak pernah terbayangkan bagaimana
nanti bila aku memakai hijab).
Saat aku resmi menjadi siswi SMA N 2 Wonosobo yang terkenal dengan
visi religiusnya, akupun sudah mulai mengenakan hijab dan berharap perilakuku
sedikit demi sedikit berubah ke arah lebih baik. Allah masih menyayangiku, Dia
pertemukan aku dengan seorang guru agama wanita yang mengampu kelas XI, seorang
Ibu yang mengubah penampilan dan perilakuku sampai seperti saat ini, aku pun
dipertemukan oleh teman-teman solekhah yang mengajakku bergabung dalam
organisasi dakwah sekolah, dan di situlah awal mula pertemuanku dengan
seseorang yang saat ini ada di hati. Orang pertama yang aku beranikan diri
untuk kuceritakan kepada Ibu. Kala itu memang masih terlalu jauh bagi kita
untuk mengenal sebuah hubungan, maka Ibu menyuruh masing-masing dari kita untuk
fokus terlebih dahulu pada studi yang masih ditempuh dan berteman layaknya
seorang teman. Beberapa kali dengan ramah kau mencoba memperkanalkan diri dan
mengajakku untuk dekat, namun yang kau dapatkan adalah sikap acuh dariku, bukan
karena aku tak ingin menjalin tali silaturahim tapi karena aku sudah mengenalmu
sebelum kau mengenalku. Namamu sudah tersohor di lingkungan sekolah. Sikap
acuhku padamu memiliki sebuah arti bahwa aku berbeda dengan wanita lain, yang
tak seramah wanita yang pernah kau kenal sebelumnya dan tak sembarangan lawan
jenis berani mendekatiku. Melalui teman, sahabat, dan jejaring sosial, kau
mencoba mengetahui seluk beluk diriku, mungkin karena terlalu lama aku membisu,
dengan nada keras (versi aku membaca) kau menyerangku dengan kata-kata seolah
memaksaku untuk memberitahumu tentang diriku, akhirnya aku pun memberitahumu. Sejak
saat itu kita menjalin komunikasi, namun terkadang aku masih mendiamkanmu untuk
menjaga jarak di antara kita. Di pertengahan kelas XI, saat sekolah mengadakan
acara study tour ke Bali, di situlah pertama kali kau mengutarakan sebuah
perasaan kepadaku. Perasaan yang ku pikir masih terlalu cepat untuk diutarakan.
Aku memberitahumu tentang nasihat Ibu yang tak pernah kau ketahui sebelumnya
bahwa aku telah menceritakan sosok dirimu yang ingin dekat denganku kepada
Beliau. Semenjak itu kita masih menjalin pertemanan, meskipun kadang aku
terdiam melihat kau dekat dengan wanita lain bahkan secara nyata kau
memperlihatkan wanita lain kepadaku yang duduk di belakang tempat duduk sepeda
motormu saat jam pulang sekolah tiba. Ya, kau terkenal dekat dengan kaum hawa,
berbanding 180 derajat dengan pribadiku. Ah, aku pun tak terlalu memikirkannya,
memang itu sudah melekat pada dirimu dan aku masih tetap bersikap acuh seperti
dulu. Pertemanan kita berlanjut ke kelas XII, angin sepoi menyambut langkahku
bersama sahabat menuju ruang kelas seusai sholat Dhuhur, tak hanya menerbangkan
debu ke mata, angin ini juga menerbangkan helaian jilbab sekaligus menerbangkan
sebuah isyarat ke hati, dimana perasaan bimbang menyuruhku untuk melihat
situasi di belakang kami, ya.. perasaan itu memberitahuku tentang sosok dirimu
yang terlampaui dua ruang kelas di belakangku. Sungguh malu diriku dan kututupi
perasaan itu dengan berjalan mundur ke belakang sembari membalas senyum yang
kau berikan, dan berharap sahabatku tak mencurigai sikap anehku. Perjalanan
kelas XII pun terasa berbeda oleh perhatian yang kau beri untukku. Kau selalu
membuatku terdiam dan tersipu malu, menjadikanku tampak di mata kalangan
murid-murid lain. Kau berani menentang prinsipku, yang tak pernah suka dan tak
pernah ingin menjadi murid terkenal di sekolah. Kenapa? Alasannya sangat
sederhana, karena orang terkenal itu harus selalu punya sensasi untuk
menjadikan dirinya dikenal banyak orang. Kalau tidak punya? Ya jadi orang
biasa-biasa saja kalau gitu. Bukan murid terkenal yang di cap negatif oleh guru
dan teman-teman yang aku inginkan, tapi aku lebih suka menjadi murid terkenal
karena usahaku sendiri menjadi berbeda dari yang lain, seperti sebuah sajak
yang berbunyi “this is real, this is me, and no more hiding who I want to be,
‘cause this is me”. Karena itu, kau suka meminjam buku-buku catatanku yang
terkadang terdapat sebuah syair lagu, dan ternyata di balik itu semua ada modus,
median, dan mean tersembunyi yang tak pernah aku tahu (karena saking polosnya),
yaitu agar dapat bertemu denganku. Seperti sebuah kalimat yang pernah kau
tuliskan, mencintai seseorang tak perlu dilakukan dengan mengungkapkan perasaan
hanya agar dia tahu kau mencintainya, tapi dilakukan dengan sebuah perhatian
dan tindakan untuknya, dan aku sudah mengetahui itu sejak awal. Kau juga yang
memperhatikan penampilanku disaat teman-teman yang lain tak menghiraukannya, iya..
penampilan yang membuatku merasa asing dengan jilbab segiempat (karena hanya
aku kenakan selain di sekolah). Kau pun tak jarang mengambil foto-foto diriku,
entah itu ku sadari ataupun tidak, sehingga membuatku merasa kurang nyaman
denganmu. Rumah Allah yang kini megah menjadi saksi bisu perjalanan kita bersama
sahabat-sahabat seperjuangan. Di akhir masa putih abu-abu, aku memberimu sebuah
petuah bahwa di luar sana akan ada banyak yang lebih baik dari diriku, namun
kau belum menghiraukan petuahku. Bahkan, tanpa aku sadari, kau memberi sesuatu
yang tak pernah ku pikirkan di saat usiaku bertambah. Sesuatu yang masih aku
simpan hingga kini.
Masa
putih abu-abu telah berakhir, kebimbangan berselimut dalam benak hatimu. Kau
meminta pendapatku untuk memilih satu diantara dua perguruan tinggi negeri yang
sama-sama menerimamu menjadi mahasiswanya. Setelah beberapa hari akhirnya kau
putuskan untuk menjadi seorang bapak guru SD sesuai dengan mimpi yang kau
alami. Saat itu, awal kita resmi menjadi mahasiswa mahasiswi perguruan tinggi
negeri, kau meminta sebuah status hubungan padaku. Aku menjawab tidak, karena
prinsipku yang akan fokus terlebih dahulu pada studiku. Suatu saat kau
bercerita padaku melalui pesan singkat bahwa memang banyak yang lebih baik dari
diriku, kini gantian aku yang tak terlalu menghiraukannya. Suatu hari di acara
besar kampus bagi mahasiswa baru, kau meminta untuk bertemu, dan bercerita
bahwa kau sudah menceritakan diriku kepada orang tuamu. Batin ini
bertanya-tanya apa memang benar kau ingin menjalin hubungan serius denganku.
Karena kata-kata yang tadinya berkerumun di kepala mendadak hilang entah
kemana, aku hanya bisa menanggapi ala kadarnya. Hubungan kita bisa terbilang
dekat saat itu sampai masing-masing dari kita memberikan password akun media
sosial satu sama lain.
Menjelang
akhir semester I, aku memergoki pesan-pesan akun media sosialmu. Betapa
kesalnya diriku saat mengetahui ternyata percakapan pribadimu hampir secara keseluruhan
dengan kaum hawa, disitu ku baca pula kau pernah menjalin hubungan dengan orang
lain yang juga teman satu kampus atau apalah aku tak mengerti jalan pemikiranmu
saat itu, yang katamu masih menunggu kepastian dariku. Aku luapkan semua
kekesalanku dengan menceritakan hal itu kepada kakak, sampai akhirnya ia pun
menyuruhku untuk menjaga jarak dan tak mudah mempercayai ucapan kaum adam. Tak
lama aku pun mengganti password akun media sosialku tanpa peduli alasan dan
permintaan maaf darimu. Beberapa hari kemudian, di acara dies natalis yang
diadakan di FMIPA, kau mengajakku untuk bertemu. Ditemani tiga temanku dan satu
temanmu, kita saling berbincang masalah yang tengah dialami, dan kau meminta
kesempatan itu kembali kepadaku. Lama berselang akhirnya aku memberikan
kesempatan itu untukkmu dan jika kau tetap tak berubah, aku memutuskan untuk
mundur. Pernah pula kau mengajakku beradu nilai IP di semester awal sampai kita
lulus, ya waktu itu aku yang kalah, di situ kau meminta 2 permintaan yang harus
aku turuti, permintaan pertama tak masalah bagiku namun yang kedua aku mencoba
mengelak dan mengajukan banding kepadamu, karena itu hal yang selama ini aku
takutkan yang pada akhirnya dugaanku benar bahwa kau akan memanfaatkan
kesempatan kekalahanku. Hingga pada suatu sore aku turuti permintaan keduamu,
itulah pertama kalinya aku makan bedua bersama lawan jenis dan tahukah kau
bagaimana rasanya kadar hormon adrenalinku yang tengah memuncak saat itu?. Dan
pertama kalinya pula aku “jalan-jalan” dengan lawan jenis saat kau menemaniku
beserta temanku mengunjungi suatu tempat megah di jawa tengah. Semester II kau
memberitahuku bahwa mata kuliah pilihanmu di gedung Fakultas Ilmu Pendidikan
Kampus Sekaran, betapa senang diriku mendengar hal tersebut karena setidaknya
ada kesempatan untuk bertemu denganmu, namun kesenangan itu tak ku tunjukkan
sampai ke mimik wajah. Setiap pertemuan kita yang hanya terbatas waktu,
terkadang aku melihat sikap aneh darimu seperti ada sesuatu yang ingin kau
ungkapkan kepadaku namun kau tak sanggup, dan aku tetap percaya bahwa kau masih
menjaga kesempatan itu. Di akhir semester ini sebelum pulang kampung, kau
mengajakku bertemu. Di temani seorang temanku, kau mendekati dan mengajakku
berbincang dua tiga patah kata sampai akhirnya kau menitipkan sesuatu yang
ternyata untukku, sekali lagi, sesuatu yang tak aku pikirkan kembali kau
berikan, dan didalamnya terdapat pop-up love terbungkus rapi dalam amplop unik
yang kesemuanya hasil kerajinan tanganmu sendiri, sungguh indah hingga
membuatku tersenyum melayang tinggi ke angan. Karena itu, aku pun memberimu
sesuatu yang ku bungkus dengan hasil kerajinan tanganku dengan meluangkan waktu
istirahatku. Hari itu pun tiba, hari dimana kau menawarkan diri untuk
menemaniku beserta temanku ke suatu tempat, di situlah kesempatanku untuk
memberikan sesuatu itu kepadamu. Di semester II aku pun kalah kembali darimu,
namun karena mungkin merasa kasihan melihatku yang tengah terpuruk akhirnya
permintaanmu hanya menyuruhku untuk belajar lebih giat dan tetap menjadi diriku
sendiri, dan aku buktikan semua itu padamu di semester III, kali ini gantian
aku yang menang dan permintaanku cukup sederhana yaitu menyuruhmu untuk tetap
menjadi diri sendiri dan istiqomah terhadap apa yang pernah kau ucapkan. Ya,
itu adalah sebuah isyarat dariku, entah kau pahami atau tidak. Di semester III
ini kita tak saling sapa muka meskipun masih terjalin komunikasi via telepon,
itu pun kau yang memulainya terlebih dahulu. Dan aku masih mempercayaimu tetap
menjaga kesempatan itu, dimana saat aku membutuhkanmu, kau selalu datang dan
membantu. Awal libur semester ini, akhirnya kita kembali berjumpa. Kali ini aku
memintamu mengawalku beserta ketiga temanku untuk mengelilingi tempat wisata
yang ada di kota hutan, dan dari situlah Ibu mulai ingin mengenal sosokmu lebih
dekat melalui diriku, namun ku sagkal bahwa aku masih berteman biasa denganmu.
Dengan intensitas yang lebih dari sebelumnya, Ibu selalu menanyakan kabarmu dan
kedekatan hubungan kita. Pernah pula (aku lupa tepatnya, semester II atau III) kau
memutuskan pertemanan di akun media sosial karena terlampau sering kecewa
kepadaku. Sejak saat itu aku tak pernah mengetahui kabarmu di dunia maya namun
aku masih tetap menaruh kepercayaan padamu. Semester IV, kau mulai mengajakku
membangun komunikasi kembali seperti dahulu dan dengan tangan terbuka aku
menerimanya. Di semester ini aku mencoba profesi baru yaitu menjadi asisten
dosen untuk praktikum. Dari situ aku mendapat sebuah salam dari seseorang yang
masih dirahasiakan namanya oleh adik kelas yang ku ampu waktu itu, karena ku
paksa akhirnya ia memberitahukan nama pengirim salam kepadaku. Satu nama yang
membuatku terkejut. Nama yang pernah ku dengar dari sosok dirimu. Malamnya, aku
pun memberitahukan hal itu kepadamu melalui pesan singkat. Ya, niat awalku
hanya sebatas memberitahu namun ternyata kau menyampaikan kepadanya, sampai
akhirnya aku mendapat sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Ku baca dan ku
pahami sampai selesai ternyata ia adalah si pemberi salam untukku. Dengan nada
sopan ia memberitahuku tentang klarifikasi salam yang ia sampaikan untuk
dibicarakan saja dengannya, tidak usah sampai memberitahumu. Akhirnya ku
jelaskan bahwa aku hanya sekedar memberitahu tanpa ada maksud lain. Menjelang
libur akhir semester ada pesan singkat yang ku terima darinya, pesan yang
tersembunyi darimu, sedikit berbeda namun aku paham maksudnya, bukan tak lain
tentang hubunganku denganmu yang mulai dekat. Saat itu ia ingin menelepon dan
meminta kejelasan dariku, namun karena saat itu aku sedang sibuk piket untuk
mempersiapkan bahan praktikum, aku menolak dan ku balas bahwa hubunganku dengan
dirimu merupakan hal privasi sehingga tidak akan ku kejelasan
sejelas-sejelasnya. Sampai di rumah, aku mendapat 3 pesan panjang darinya dengan
nada sedikit keras (versi aku membaca) dan bahasa tingkat tinggi sampai
akhirnya dia menyuruhku untuk menjaga dirimu yang kini ada di hati. Lembut
sekali kata-katanya namun aku sempat berpikir semudah inikah dia melepaskanmu?
namun aku tak menaruh kepercayaan kepada orang yang baru ku kenal. Aku
menceritakan hal itu kepada Ibu dan Beliau menyuruhku untuk lebih berhati-hati.
Keluar dari hal itu, lagi-lagi giliranku yang menang darimu. Teringat aku bahwa
kau sering memasak dan menawarkan masakanmu kepadaku melalui pesan singkat,
maka permintaanku kali ini adalah mencoba masakan yang kau buat untukku. Di
liburan semester ini kau memenuhi panggilan Ibu untuk datang ke rumah dan kau
pun mengajakku melakukan kegiatan yang baru pertama kali ku lakukan yaitu
mendaki gunung bersama teman-teman SMA dulu, gunung Prau namanya. Gunung yang
ada di kota hutan dengan ketinggian 2565 mdpl. Karena ini kali pertamaku
mendaki gunung, maklum kalau rasa lelah sangat bergelayut di pundak dan kaki,
sehingga mungkin ada 10 kali kita istirahat (maaf, (^_^)) namun setelah melihat
keagungan ciptaan-Nya, rasa lelah pergi begitu saja terganti oleh rasa takjub.
Sungguh, pemandangan yang sangat luar biasa (Subhanallah) dan terima kasihku
kepadamu karena telah memberi pengalaman yang berbeda untukku. Sejak kita
membangun kembali ukhuwah kebersamaan, Ibu sangat intensif menanyakan keadaan
kita dan pernah Beliau menanyakan hubungan pertemanan kita di dunia maya yang
sampai saat itu belum terajut kembali seperti di dunia nyata. Akhirnya, aku
memberanikan diri untuk memulai menjalin pertemanan. Perasaan ragu sempat
menyelimuti namun usahalah yang membulatkan tekadku. Di semester V, kau menuruti
permintaan kemenangan nilaiku dengan menyajikan masakanmu, yaitu kolak.
Semester ini, kau menceritakan sosoknya yang terlampau kecewa karena melihatmu
dengan dua orang wanita dimana salah satunya adalah diriku pada malam hari di
pinggir jalan. Feelingku berkata benar, bahwa aku tidak mempercayai dirinya,
kejadian itu juga yang kurang mengenakkan hatiku sehingga ku beranikan diri
bertanya kepadanya tentang kejelasan sikap yang pernah ia jelaskan sendiri
kepadaku, namun sikap acuh yang aku terima darinya dan ia menceritakannya
padamu sehingga dengan halus kau menasehatiku untuk berhenti menambah rasa
sakitnya, dan sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk tidak memulai
menghubunginya kembali. Betapa terkejutnya aku ternyata urusanmu dengannya
belum lah selesai, namun kau malah memulai urusan denganku. Akhirnya aku
menyuruhmu untuk menyelesaikan urusanmu dengannya terlebih dahulu baru setelah
itu kau boleh menghubungiku kembali. Beberapa hari berselang, kau membawakanku
buah tangan dari kegiatan kampus sembari menceritakan tentang dirinya. Dan saat
itu pula, ia kembali menghubungiku dan menjelaskan semuanya. Setelah malam itu,
ada acara pagelaran drama tari bahasa jawa yang di adakan di kampusmu. Aku
berangkat bersama temanku dengan pedoman peta yang kau buatkan sebelumnya
untukku. Sampai di SPBU Ngaliyan, kau menghampiriku dan temanku dan menuntun
kami sampai tiba di kampus. Deg-degan? Pasti. Namun aku mencoba percaya diri.
Di situ ku lihat kau menemui dua orang teman lawan jenis namun aku langsung
membuang pandangan dari arah yang seharusnya tak ku pandang untuk tetap menjaga
hatiku. Di dalam gedung, kau memberanikan diri duduk diantara kerumunan kaum
hawa. Sejak kejadian itu, aku pun sadar bahwa sepertinya kau belum banyak
berubah dari dirimu yang dulu ku kenal. Di hari itu pula tanpa sengaja aku
bertemu dengan dia, seseorang yang tak asing lagi bagiku. Namun pertemuan itu
tanpa membawa arti karena masing-masing dari semua pihak yang terlibat tak
saling menyapa. Dan kau menyuruhku untuk menghubunginya ketika tiba di tempat
asal. Saat ku hubungi, nadanya begitu halus seperti menggambarkan bahwa ia
baik-baik saja. Pikiran itu masih memiliki jembatan penghubung antar sel neuron
di otak, sehingga kuruntuhkan dengan menceritakan kepada Ibu, dan Beliau
menyarankan aku untuk tidak datang kembali ke kampusmu. Aku patuhi perintah
Beliau. Lama berselang akhirnya kau memberitahuku bahwa kau dengannya telah
sepakat menjalin pertemanan layaknya teman pada umumnya. Di semeter ini,
nilaiku turun dan aku kalah darimu. Permintaanmu sama seperti permintaanku
sebelumnya, yaitu mencoba masakan yang ku buat untukmu. Saat itu aku membuatkan
nasi goreng dan kripik kentang untukmu.
Lanjut
ke semester 6, tanpa sengaja aku membaca tulisan-tulisannya. Tulisan yang
banyak menceritakan sosok dirimu dan kisah kebersamaan denganmu. Tulisan yang
diketik tulus sesuai curahan isi hati, sungguh membuatku tercengang akan
kisahnya. Terdiam aku terpaku, membaca dan memahami satu per satu kisah-kisah
yang begitu indah, menurutku. Kisah yang selama ini tak pernah aku ketahui.
Sedekat itu kau dengannya? Yang saat itu juga baru kita mulai kembali kedekatan
dari awal. Namun, aku hanya diam membisu saat mengetahui ternyata aku pun ikut
dipersalahkan dalam tuangan tulisan-tulisannya. Sungguh, tak terbayangkan
bagaimana rasanya disegani orang di hadapan namun dicemooh dibelakang.
Benar-benar berbanding terbalik antara kata-kata yang pernah ia tuliskan pada
pesan awal dengan tulisan tangan yang tak aku ketahui sebelumnya. Aku tahu
permintaan maafku tak dapat mengobati lukanya, karena yang ia minta bukanlah
permintaan maaf dariku melainkan dirimu. Maka dari itu aku hanya bisa menjaga
perasaannya, setidaknya bukan malah menambah rasa sakitnya. Sungguh, aku
benar-benar tak mengetahui jikalau kau masih dekat dengannya saat itu. Kau tak
pernah menceritakan sosoknya sebelumnya, ataukah aku yang tak pernah menanyakan
sosoknya padamu? Aku pernah menanyakan kedekatan hubunganmu dengannya dan kau
menjawab hanya sebatas teman dengan mimik acuh khas dirimu. Di dalam tulisan
tangannya ternyata kau juga mengajaknya beradu nilai IP dan ia juga kalah. Di
cerita yang lain ternyata kau juga memberinya pop up mawar yang dibilang indah
olehnya, dan dalam cerita itu pula kau ternyata memberikan sebuah janji
kepadanya (entah benar atau tidak hanya Allah Yang Maha Tahu). Kurang paham,
akhirnya aku mencoba mengetahui seluk beluknya melalui semua jejaring sosial
dan aku menemukan dua foto di dataran tinggi yang terkenal, ada sosok dirimu di
dalamnya bersama teman-teman. Benar-benar sama kisahnya seperti yang ada di
salah satu tulisan tangannya. Pikiran negatifku mulai menumpuk di kepala namun
aku mencoba menelusurinya lebih jauh dan ku temukan percakapanmu dengannya di
media sosial. Sungguh, sebegitu sakitnya aku mengetahui semuanya yang kau
sembunyikan, inikah alasanmu memutus pertemanan di dunia maya hanya agar kau
dapat bebas bercengkrama dengannya? Dan tanpa terasa rintik air mata pun jatuh
membasahi pipi. Aku menyesal, benar-benar menyesal bahwa selama ini terlalu
percaya diri untuk menaruh kepercayaan padamu. Dan kesempatan yang pernah kau
minta dariku, tak ada gunanya sama sekali.
Aku
terdiam sejenak, ingin sekali meluapkan amarah namun aku mencoba tenang dan
mengingat kembali kisah awalku kenal dengannya, ya aku ingat dulu pernah
memiliki sebuah firasat dan memang sudah menduga sejak awal-awal semester,
sepertinya ia telah menelusuri seluk beluk diriku tanpa aku sadari dan itu
berlangsung sedikit lama sampai akhirnya pertama kita menjalin komunikasi dari
sebuah salam yang ia haturkan kepadaku melalui adik kelas yang ku ampu saat aku
duduk di semester IV, di situlah aku mengetahui selama ini telah diintai
olehnya lewat media sosial. Tak terasa sudah satu semester aku mengenalnya,
setelah itu aku tak pernah mendengar kabarnya lagi atau bahkan mendapat pesan
darinya. Dia yang memulai, dan dia juga
yang mengakhiri. Aku belajar dari
sosoknya, sosok yang tangguh dan sabar menghadapi masalah, sosok yang mampu menjaga
perasaan wanita lain meskipun ia sendiri terluka karenanya. Aku memang bukan
seorang pujangga yang pandai menuangkan kata-kata indah seperti dirinya.
Kata-kata dengan bahasa tingkat yang lebih tinggi yang terkadang tak mampu ku
urai maknanya. Berulang kali aku katakan bahwa aku ini hanyalah seonggok kayu
lapuk di tengah pohon-pohon tinggi nan lebat, yang hanya dapat diambil oleh
orang yang memang mau memanfaatkannya. Namun, aku masih bersyukur tetap menjadi
diri sendiri sampai saat ini.
Taukah
kau, sejujurnya aku telah menyimpan perasaan kepadamu, sejak mulai masa putih
abu-abu itu terselimut kabut. Namun karena sering terlampau kecewa denganmu,
aku pun mencoba mencari yang lebih baik darimu. Namun, ternyata semakin jauh
aku mencari, semakin tak mendapat yang lebih baik darimu. Perasaan itu masih
aku simpan dan ku bungkam rapat-rapat setiap kau menanyakan keseriusan kepadaku
di setiap akhir semester dan hanya ungkapan kebelumsiapan dariku yang kau
terima. Aku belum berani mengatakannya saat itu, dan akan aku ungkapkan saat
situasi memang sudah tepat. Di samping itu aku juga melihat seberapa besar
keseriusanmu kepadaku. Hatiku memang sekeras batu, tapi sekeras-kerasnya batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya, sesuai dengan firman-Nya (02):74. Mungkin terlalu lama kau merasa digantung olehku, dan
waktu pun semakin memisahkan tempo pertemuan kita, di saat yang sama kau terbiasa
dengannya, sehingga menciptakan sedikit jeda diantara kita. Aku mengaku salah
karena telah membuatmu merasa digantung olehku, maaf karena sebenarnya keadaanku
masih labil saat itu, aku tak akan berandai-andai tentang masa lalu, ku akui
kesalahanku waktu itu, dan berharap jangan sampai jatuh di lubang yang sama.
Memilih
satu diantara dua memang hal yang sulit, kita sama-sama pernah mengalami itu. Sadarkah
kau, apa yang kau lakukan padanya sama seperti yang orang lain lakukan padaku.
Ya, sama-sama teman satu rombel, dan sama-sama dalam satu organisasi. Mungkin
hanya perasaanku saja yang terlalu percaya diri hingga akhirnya pun hanya rasa
kecewa yang aku dapatkan. Aku menyesal dan bersimpuh untuk kembali kepada-Nya,
semua ini memang murni salahku, bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur, tinggal
bagaimana aku dapat membuat bubur itu menjadi seenak nasi. Aku melakukan hal
yang salah kepadamu dan kau juga melakukan hal yang sama padanya dan padaku.
Aku mulai sadar dan belajar menghargai perasaan dari pengalaman itu, dan dari
pengalaman-pengalaman lain sebelumnya. Kini dengan hati-hati aku menjaga
perasaanmu dan juga perasaanku, sehingga berharap tak ada pihak diantara kita
yang merasa dirugikan.
Di
awal perjalanan kita memang sudah dihadapkan dengan sebuah rintangan, dan aku
tahu kedepan akan ada rintangan yang lebih besar dari sebelumnya untuk menguji
ketangguhan. Maka dari itu, jarak diantara kita terkadang membuatku bimbang
terhadapmu, namun aku selalu berusaha menaruh kepercayaan kepadamu. Aku hanya
berharap masing-masing dari kita tetap menjaga komitmen yang sudah dibangun,
komitmen yang disaksikan oleh seorang saksi dan seorang Hakim yang tak pernah
tidur mengawasi makhluk-Nya. Disini, aku hanya bisa menyerahkan segala urusanku
pada-Nya, termasuk dirimu. Karena aku yakin, semua akan indah dan tepat pada
waktu-Nya.
Semoga
cerita singkat ini dapat menjadi pelajaran bagi pembaca bahwa sesungguhnya hati
(kalbu) bukanlah tempat untuk bermain.
Wassalamu’alaikum
wr.wb..