Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 07 Agustus 2015

Sepotong episode, masa lalu aku...

Diangkat dari buku “Ya Allah Aku Jatuh Cinta”
Ya Allah, yang membolak-balikkan hati kami..
Selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencinta
Namun, aku berharap bila cinta hadir menyapaku aku tidak kehilangan Engkau
Ya Allah, selama ini aku hanya berharap
Semoga bisa mencintai
Orang yang memiliki cinta yang luar biasa kepada-Mu
Ya Allah, selama ini aku juga berharap
Semoga bisa dicintai
Oleh orang yang bisa mengarahkan
Menuju keridhaan-Mu
Pintaku Ya Allah,
Ijinkan aku memiliki rasa ini
Hingga ia menjadi indah di dada kami
Tanpa mengurangi rasa cinta kami kepada-Mu..

Sebuah kisah masa lalu yang hadir di benakku..
CINTA, kata yang membuat pikiran seseorang melayang jauh dalam sebuah angan, sebuah kata yang mampu mengalahkan berbagai rasa terutama rasa takut, dan sebuah kata yang banyak membuat kaum muda-mudi terjerumus dalam jurang zina.
Islam memandang cinta sebagai sesuatu yang biasa dan sederhana. Cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah Subkhanahu Wa Ta’ala telah mananamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah dia memberitahu bahwa dia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai. Mereka juga tidak dilarang untuk jatuh cinta. Hanya saja, Islam menyediakan penyaluran untuk itu melalui lembaga pernikahan. Hal ini menjadi sebuah tuntunan dalam menjalankan agama, bahwa ketika hamba Allah jatuh cinta hanyalah pernikahan solusinya.
Namun, cinta yang kurang tepat penempatan dan pemahamannya akan menjadi cinta yang tidak fitrah, cinta yang hanya menuruti hawa nafsu, ketika itu terjadi maka cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta akan bergeser tingkatannya yang semestinya diutamakan pada tingkat teratas berbalik menjadi tingkat kedua, ketiga ataupun terakhir (Na’udzubillahimindzalik). Cinta memang tak memandang seseorang, keren, pendiam, gaul, soleh dan solekhah, dan lain-lain semua tak luput dari kata cinta. Semoga cerita berikut mampu menjadi pelajaran serta renungan bagi pembaca yang budiman.
Assalau’alaikum.. namaku Ran, dimana akulah gadis pendiam dan pemalu. Ini kisahku bagaimana seseorang mengenalku…
Aku tinggal didaerah yang memiliki hawa sejuk, ya.. disebuah kota yang ASRI, Wonosobo. Aku menamatkan sekolah dasarku pada tahun 2006, dari sebuah SD yang mungkin belum banyak dikenal, SD N 9 Wonosobo. Disinilah aku menimba ilmu untuk jenjang berikutnya, alkhamdulillah.. aku diterima di sekolah menengah pertama terfavorit di kotaku, SMP N 2 Wonosobo dan lulus pada tahun 2009. Masa-masa saat itu belumlah membuatku mengerti tentang perasaan, aku tak pernah dekat dengan lawan jenis dan terkenal sangat polos. Aku tergabung dalam teman-teman yang menurutku wow, dan memang benar bahwa lingkungan mempengaruhi perilaku seseorang, saat itu perilakuku bergeser sedikit dari diriku yang sebelumnya. Aku belum mengenakan hijab waktu itu, namun entah mengapa ada niat dalam benakku untuk mengenakannya saat masuk SMA nanti. Sempat ada perasaan ragu (tak pernah terbayangkan bagaimana nanti bila aku memakai hijab).
Saat aku resmi menjadi siswi SMA N 2 Wonosobo yang terkenal dengan visi religiusnya, akupun sudah mulai mengenakan hijab dan berharap perilakuku sedikit demi sedikit berubah ke arah lebih baik. Allah masih menyayangiku, Dia pertemukan aku dengan seorang guru agama wanita yang mengampu kelas XI, seorang Ibu yang mengubah penampilan dan perilakuku sampai seperti saat ini, aku pun dipertemukan oleh teman-teman solekhah yang mengajakku bergabung dalam organisasi dakwah sekolah, dan di situlah awal mula pertemuanku dengan seseorang yang saat ini ada di hati. Orang pertama yang aku beranikan diri untuk kuceritakan kepada Ibu. Kala itu memang masih terlalu jauh bagi kita untuk mengenal sebuah hubungan, maka Ibu menyuruh masing-masing dari kita untuk fokus terlebih dahulu pada studi yang masih ditempuh dan berteman layaknya seorang teman. Beberapa kali dengan ramah kau mencoba memperkanalkan diri dan mengajakku untuk dekat, namun yang kau dapatkan adalah sikap acuh dariku, bukan karena aku tak ingin menjalin tali silaturahim tapi karena aku sudah mengenalmu sebelum kau mengenalku. Namamu sudah tersohor di lingkungan sekolah. Sikap acuhku padamu memiliki sebuah arti bahwa aku berbeda dengan wanita lain, yang tak seramah wanita yang pernah kau kenal sebelumnya dan tak sembarangan lawan jenis berani mendekatiku. Melalui teman, sahabat, dan jejaring sosial, kau mencoba mengetahui seluk beluk diriku, mungkin karena terlalu lama aku membisu, dengan nada keras (versi aku membaca) kau menyerangku dengan kata-kata seolah memaksaku untuk memberitahumu tentang diriku, akhirnya aku pun memberitahumu. Sejak saat itu kita menjalin komunikasi, namun terkadang aku masih mendiamkanmu untuk menjaga jarak di antara kita. Di pertengahan kelas XI, saat sekolah mengadakan acara study tour ke Bali, di situlah pertama kali kau mengutarakan sebuah perasaan kepadaku. Perasaan yang ku pikir masih terlalu cepat untuk diutarakan. Aku memberitahumu tentang nasihat Ibu yang tak pernah kau ketahui sebelumnya bahwa aku telah menceritakan sosok dirimu yang ingin dekat denganku kepada Beliau. Semenjak itu kita masih menjalin pertemanan, meskipun kadang aku terdiam melihat kau dekat dengan wanita lain bahkan secara nyata kau memperlihatkan wanita lain kepadaku yang duduk di belakang tempat duduk sepeda motormu saat jam pulang sekolah tiba. Ya, kau terkenal dekat dengan kaum hawa, berbanding 180 derajat dengan pribadiku. Ah, aku pun tak terlalu memikirkannya, memang itu sudah melekat pada dirimu dan aku masih tetap bersikap acuh seperti dulu. Pertemanan kita berlanjut ke kelas XII, angin sepoi menyambut langkahku bersama sahabat menuju ruang kelas seusai sholat Dhuhur, tak hanya menerbangkan debu ke mata, angin ini juga menerbangkan helaian jilbab sekaligus menerbangkan sebuah isyarat ke hati, dimana perasaan bimbang menyuruhku untuk melihat situasi di belakang kami, ya.. perasaan itu memberitahuku tentang sosok dirimu yang terlampaui dua ruang kelas di belakangku. Sungguh malu diriku dan kututupi perasaan itu dengan berjalan mundur ke belakang sembari membalas senyum yang kau berikan, dan berharap sahabatku tak mencurigai sikap anehku. Perjalanan kelas XII pun terasa berbeda oleh perhatian yang kau beri untukku. Kau selalu membuatku terdiam dan tersipu malu, menjadikanku tampak di mata kalangan murid-murid lain. Kau berani menentang prinsipku, yang tak pernah suka dan tak pernah ingin menjadi murid terkenal di sekolah. Kenapa? Alasannya sangat sederhana, karena orang terkenal itu harus selalu punya sensasi untuk menjadikan dirinya dikenal banyak orang. Kalau tidak punya? Ya jadi orang biasa-biasa saja kalau gitu. Bukan murid terkenal yang di cap negatif oleh guru dan teman-teman yang aku inginkan, tapi aku lebih suka menjadi murid terkenal karena usahaku sendiri menjadi berbeda dari yang lain, seperti sebuah sajak yang berbunyi “this is real, this is me, and no more hiding who I want to be, ‘cause this is me”. Karena itu, kau suka meminjam buku-buku catatanku yang terkadang terdapat sebuah syair lagu, dan ternyata di balik itu semua ada modus, median, dan mean tersembunyi yang tak pernah aku tahu (karena saking polosnya), yaitu agar dapat bertemu denganku. Seperti sebuah kalimat yang pernah kau tuliskan, mencintai seseorang tak perlu dilakukan dengan mengungkapkan perasaan hanya agar dia tahu kau mencintainya, tapi dilakukan dengan sebuah perhatian dan tindakan untuknya, dan aku sudah mengetahui itu sejak awal. Kau juga yang memperhatikan penampilanku disaat teman-teman yang lain tak menghiraukannya, iya.. penampilan yang membuatku merasa asing dengan jilbab segiempat (karena hanya aku kenakan selain di sekolah). Kau pun tak jarang mengambil foto-foto diriku, entah itu ku sadari ataupun tidak, sehingga membuatku merasa kurang nyaman denganmu. Rumah Allah yang kini megah menjadi saksi bisu perjalanan kita bersama sahabat-sahabat seperjuangan. Di akhir masa putih abu-abu, aku memberimu sebuah petuah bahwa di luar sana akan ada banyak yang lebih baik dari diriku, namun kau belum menghiraukan petuahku. Bahkan, tanpa aku sadari, kau memberi sesuatu yang tak pernah ku pikirkan di saat usiaku bertambah. Sesuatu yang masih aku simpan hingga kini.
Masa putih abu-abu telah berakhir, kebimbangan berselimut dalam benak hatimu. Kau meminta pendapatku untuk memilih satu diantara dua perguruan tinggi negeri yang sama-sama menerimamu menjadi mahasiswanya. Setelah beberapa hari akhirnya kau putuskan untuk menjadi seorang bapak guru SD sesuai dengan mimpi yang kau alami. Saat itu, awal kita resmi menjadi mahasiswa mahasiswi perguruan tinggi negeri, kau meminta sebuah status hubungan padaku. Aku menjawab tidak, karena prinsipku yang akan fokus terlebih dahulu pada studiku. Suatu saat kau bercerita padaku melalui pesan singkat bahwa memang banyak yang lebih baik dari diriku, kini gantian aku yang tak terlalu menghiraukannya. Suatu hari di acara besar kampus bagi mahasiswa baru, kau meminta untuk bertemu, dan bercerita bahwa kau sudah menceritakan diriku kepada orang tuamu. Batin ini bertanya-tanya apa memang benar kau ingin menjalin hubungan serius denganku. Karena kata-kata yang tadinya berkerumun di kepala mendadak hilang entah kemana, aku hanya bisa menanggapi ala kadarnya. Hubungan kita bisa terbilang dekat saat itu sampai masing-masing dari kita memberikan password akun media sosial satu sama lain.
Menjelang akhir semester I, aku memergoki pesan-pesan akun media sosialmu. Betapa kesalnya diriku saat mengetahui ternyata percakapan pribadimu hampir secara keseluruhan dengan kaum hawa, disitu ku baca pula kau pernah menjalin hubungan dengan orang lain yang juga teman satu kampus atau apalah aku tak mengerti jalan pemikiranmu saat itu, yang katamu masih menunggu kepastian dariku. Aku luapkan semua kekesalanku dengan menceritakan hal itu kepada kakak, sampai akhirnya ia pun menyuruhku untuk menjaga jarak dan tak mudah mempercayai ucapan kaum adam. Tak lama aku pun mengganti password akun media sosialku tanpa peduli alasan dan permintaan maaf darimu. Beberapa hari kemudian, di acara dies natalis yang diadakan di FMIPA, kau mengajakku untuk bertemu. Ditemani tiga temanku dan satu temanmu, kita saling berbincang masalah yang tengah dialami, dan kau meminta kesempatan itu kembali kepadaku. Lama berselang akhirnya aku memberikan kesempatan itu untukkmu dan jika kau tetap tak berubah, aku memutuskan untuk mundur. Pernah pula kau mengajakku beradu nilai IP di semester awal sampai kita lulus, ya waktu itu aku yang kalah, di situ kau meminta 2 permintaan yang harus aku turuti, permintaan pertama tak masalah bagiku namun yang kedua aku mencoba mengelak dan mengajukan banding kepadamu, karena itu hal yang selama ini aku takutkan yang pada akhirnya dugaanku benar bahwa kau akan memanfaatkan kesempatan kekalahanku. Hingga pada suatu sore aku turuti permintaan keduamu, itulah pertama kalinya aku makan bedua bersama lawan jenis dan tahukah kau bagaimana rasanya kadar hormon adrenalinku yang tengah memuncak saat itu?. Dan pertama kalinya pula aku “jalan-jalan” dengan lawan jenis saat kau menemaniku beserta temanku mengunjungi suatu tempat megah di jawa tengah. Semester II kau memberitahuku bahwa mata kuliah pilihanmu di gedung Fakultas Ilmu Pendidikan Kampus Sekaran, betapa senang diriku mendengar hal tersebut karena setidaknya ada kesempatan untuk bertemu denganmu, namun kesenangan itu tak ku tunjukkan sampai ke mimik wajah. Setiap pertemuan kita yang hanya terbatas waktu, terkadang aku melihat sikap aneh darimu seperti ada sesuatu yang ingin kau ungkapkan kepadaku namun kau tak sanggup, dan aku tetap percaya bahwa kau masih menjaga kesempatan itu. Di akhir semester ini sebelum pulang kampung, kau mengajakku bertemu. Di temani seorang temanku, kau mendekati dan mengajakku berbincang dua tiga patah kata sampai akhirnya kau menitipkan sesuatu yang ternyata untukku, sekali lagi, sesuatu yang tak aku pikirkan kembali kau berikan, dan didalamnya terdapat pop-up love terbungkus rapi dalam amplop unik yang kesemuanya hasil kerajinan tanganmu sendiri, sungguh indah hingga membuatku tersenyum melayang tinggi ke angan. Karena itu, aku pun memberimu sesuatu yang ku bungkus dengan hasil kerajinan tanganku dengan meluangkan waktu istirahatku. Hari itu pun tiba, hari dimana kau menawarkan diri untuk menemaniku beserta temanku ke suatu tempat, di situlah kesempatanku untuk memberikan sesuatu itu kepadamu. Di semester II aku pun kalah kembali darimu, namun karena mungkin merasa kasihan melihatku yang tengah terpuruk akhirnya permintaanmu hanya menyuruhku untuk belajar lebih giat dan tetap menjadi diriku sendiri, dan aku buktikan semua itu padamu di semester III, kali ini gantian aku yang menang dan permintaanku cukup sederhana yaitu menyuruhmu untuk tetap menjadi diri sendiri dan istiqomah terhadap apa yang pernah kau ucapkan. Ya, itu adalah sebuah isyarat dariku, entah kau pahami atau tidak. Di semester III ini kita tak saling sapa muka meskipun masih terjalin komunikasi via telepon, itu pun kau yang memulainya terlebih dahulu. Dan aku masih mempercayaimu tetap menjaga kesempatan itu, dimana saat aku membutuhkanmu, kau selalu datang dan membantu. Awal libur semester ini, akhirnya kita kembali berjumpa. Kali ini aku memintamu mengawalku beserta ketiga temanku untuk mengelilingi tempat wisata yang ada di kota hutan, dan dari situlah Ibu mulai ingin mengenal sosokmu lebih dekat melalui diriku, namun ku sagkal bahwa aku masih berteman biasa denganmu. Dengan intensitas yang lebih dari sebelumnya, Ibu selalu menanyakan kabarmu dan kedekatan hubungan kita. Pernah pula (aku lupa tepatnya, semester II atau III) kau memutuskan pertemanan di akun media sosial karena terlampau sering kecewa kepadaku. Sejak saat itu aku tak pernah mengetahui kabarmu di dunia maya namun aku masih tetap menaruh kepercayaan padamu. Semester IV, kau mulai mengajakku membangun komunikasi kembali seperti dahulu dan dengan tangan terbuka aku menerimanya. Di semester ini aku mencoba profesi baru yaitu menjadi asisten dosen untuk praktikum. Dari situ aku mendapat sebuah salam dari seseorang yang masih dirahasiakan namanya oleh adik kelas yang ku ampu waktu itu, karena ku paksa akhirnya ia memberitahukan nama pengirim salam kepadaku. Satu nama yang membuatku terkejut. Nama yang pernah ku dengar dari sosok dirimu. Malamnya, aku pun memberitahukan hal itu kepadamu melalui pesan singkat. Ya, niat awalku hanya sebatas memberitahu namun ternyata kau menyampaikan kepadanya, sampai akhirnya aku mendapat sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Ku baca dan ku pahami sampai selesai ternyata ia adalah si pemberi salam untukku. Dengan nada sopan ia memberitahuku tentang klarifikasi salam yang ia sampaikan untuk dibicarakan saja dengannya, tidak usah sampai memberitahumu. Akhirnya ku jelaskan bahwa aku hanya sekedar memberitahu tanpa ada maksud lain. Menjelang libur akhir semester ada pesan singkat yang ku terima darinya, pesan yang tersembunyi darimu, sedikit berbeda namun aku paham maksudnya, bukan tak lain tentang hubunganku denganmu yang mulai dekat. Saat itu ia ingin menelepon dan meminta kejelasan dariku, namun karena saat itu aku sedang sibuk piket untuk mempersiapkan bahan praktikum, aku menolak dan ku balas bahwa hubunganku dengan dirimu merupakan hal privasi sehingga tidak akan ku kejelasan sejelas-sejelasnya. Sampai di rumah, aku mendapat 3 pesan panjang darinya dengan nada sedikit keras (versi aku membaca) dan bahasa tingkat tinggi sampai akhirnya dia menyuruhku untuk menjaga dirimu yang kini ada di hati. Lembut sekali kata-katanya namun aku sempat berpikir semudah inikah dia melepaskanmu? namun aku tak menaruh kepercayaan kepada orang yang baru ku kenal. Aku menceritakan hal itu kepada Ibu dan Beliau menyuruhku untuk lebih berhati-hati. Keluar dari hal itu, lagi-lagi giliranku yang menang darimu. Teringat aku bahwa kau sering memasak dan menawarkan masakanmu kepadaku melalui pesan singkat, maka permintaanku kali ini adalah mencoba masakan yang kau buat untukku. Di liburan semester ini kau memenuhi panggilan Ibu untuk datang ke rumah dan kau pun mengajakku melakukan kegiatan yang baru pertama kali ku lakukan yaitu mendaki gunung bersama teman-teman SMA dulu, gunung Prau namanya. Gunung yang ada di kota hutan dengan ketinggian 2565 mdpl. Karena ini kali pertamaku mendaki gunung, maklum kalau rasa lelah sangat bergelayut di pundak dan kaki, sehingga mungkin ada 10 kali kita istirahat (maaf, (^_^)) namun setelah melihat keagungan ciptaan-Nya, rasa lelah pergi begitu saja terganti oleh rasa takjub. Sungguh, pemandangan yang sangat luar biasa (Subhanallah) dan terima kasihku kepadamu karena telah memberi pengalaman yang berbeda untukku. Sejak kita membangun kembali ukhuwah kebersamaan, Ibu sangat intensif menanyakan keadaan kita dan pernah Beliau menanyakan hubungan pertemanan kita di dunia maya yang sampai saat itu belum terajut kembali seperti di dunia nyata. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memulai menjalin pertemanan. Perasaan ragu sempat menyelimuti namun usahalah yang membulatkan tekadku. Di semester V, kau menuruti permintaan kemenangan nilaiku dengan menyajikan masakanmu, yaitu kolak. Semester ini, kau menceritakan sosoknya yang terlampau kecewa karena melihatmu dengan dua orang wanita dimana salah satunya adalah diriku pada malam hari di pinggir jalan. Feelingku berkata benar, bahwa aku tidak mempercayai dirinya, kejadian itu juga yang kurang mengenakkan hatiku sehingga ku beranikan diri bertanya kepadanya tentang kejelasan sikap yang pernah ia jelaskan sendiri kepadaku, namun sikap acuh yang aku terima darinya dan ia menceritakannya padamu sehingga dengan halus kau menasehatiku untuk berhenti menambah rasa sakitnya, dan sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk tidak memulai menghubunginya kembali. Betapa terkejutnya aku ternyata urusanmu dengannya belum lah selesai, namun kau malah memulai urusan denganku. Akhirnya aku menyuruhmu untuk menyelesaikan urusanmu dengannya terlebih dahulu baru setelah itu kau boleh menghubungiku kembali. Beberapa hari berselang, kau membawakanku buah tangan dari kegiatan kampus sembari menceritakan tentang dirinya. Dan saat itu pula, ia kembali menghubungiku dan menjelaskan semuanya. Setelah malam itu, ada acara pagelaran drama tari bahasa jawa yang di adakan di kampusmu. Aku berangkat bersama temanku dengan pedoman peta yang kau buatkan sebelumnya untukku. Sampai di SPBU Ngaliyan, kau menghampiriku dan temanku dan menuntun kami sampai tiba di kampus. Deg-degan? Pasti. Namun aku mencoba percaya diri. Di situ ku lihat kau menemui dua orang teman lawan jenis namun aku langsung membuang pandangan dari arah yang seharusnya tak ku pandang untuk tetap menjaga hatiku. Di dalam gedung, kau memberanikan diri duduk diantara kerumunan kaum hawa. Sejak kejadian itu, aku pun sadar bahwa sepertinya kau belum banyak berubah dari dirimu yang dulu ku kenal. Di hari itu pula tanpa sengaja aku bertemu dengan dia, seseorang yang tak asing lagi bagiku. Namun pertemuan itu tanpa membawa arti karena masing-masing dari semua pihak yang terlibat tak saling menyapa. Dan kau menyuruhku untuk menghubunginya ketika tiba di tempat asal. Saat ku hubungi, nadanya begitu halus seperti menggambarkan bahwa ia baik-baik saja. Pikiran itu masih memiliki jembatan penghubung antar sel neuron di otak, sehingga kuruntuhkan dengan menceritakan kepada Ibu, dan Beliau menyarankan aku untuk tidak datang kembali ke kampusmu. Aku patuhi perintah Beliau. Lama berselang akhirnya kau memberitahuku bahwa kau dengannya telah sepakat menjalin pertemanan layaknya teman pada umumnya. Di semeter ini, nilaiku turun dan aku kalah darimu. Permintaanmu sama seperti permintaanku sebelumnya, yaitu mencoba masakan yang ku buat untukmu. Saat itu aku membuatkan nasi goreng dan kripik kentang untukmu.
Lanjut ke semester 6, tanpa sengaja aku membaca tulisan-tulisannya. Tulisan yang banyak menceritakan sosok dirimu dan kisah kebersamaan denganmu. Tulisan yang diketik tulus sesuai curahan isi hati, sungguh membuatku tercengang akan kisahnya. Terdiam aku terpaku, membaca dan memahami satu per satu kisah-kisah yang begitu indah, menurutku. Kisah yang selama ini tak pernah aku ketahui. Sedekat itu kau dengannya? Yang saat itu juga baru kita mulai kembali kedekatan dari awal. Namun, aku hanya diam membisu saat mengetahui ternyata aku pun ikut dipersalahkan dalam tuangan tulisan-tulisannya. Sungguh, tak terbayangkan bagaimana rasanya disegani orang di hadapan namun dicemooh dibelakang. Benar-benar berbanding terbalik antara kata-kata yang pernah ia tuliskan pada pesan awal dengan tulisan tangan yang tak aku ketahui sebelumnya. Aku tahu permintaan maafku tak dapat mengobati lukanya, karena yang ia minta bukanlah permintaan maaf dariku melainkan dirimu. Maka dari itu aku hanya bisa menjaga perasaannya, setidaknya bukan malah menambah rasa sakitnya. Sungguh, aku benar-benar tak mengetahui jikalau kau masih dekat dengannya saat itu. Kau tak pernah menceritakan sosoknya sebelumnya, ataukah aku yang tak pernah menanyakan sosoknya padamu? Aku pernah menanyakan kedekatan hubunganmu dengannya dan kau menjawab hanya sebatas teman dengan mimik acuh khas dirimu. Di dalam tulisan tangannya ternyata kau juga mengajaknya beradu nilai IP dan ia juga kalah. Di cerita yang lain ternyata kau juga memberinya pop up mawar yang dibilang indah olehnya, dan dalam cerita itu pula kau ternyata memberikan sebuah janji kepadanya (entah benar atau tidak hanya Allah Yang Maha Tahu). Kurang paham, akhirnya aku mencoba mengetahui seluk beluknya melalui semua jejaring sosial dan aku menemukan dua foto di dataran tinggi yang terkenal, ada sosok dirimu di dalamnya bersama teman-teman. Benar-benar sama kisahnya seperti yang ada di salah satu tulisan tangannya. Pikiran negatifku mulai menumpuk di kepala namun aku mencoba menelusurinya lebih jauh dan ku temukan percakapanmu dengannya di media sosial. Sungguh, sebegitu sakitnya aku mengetahui semuanya yang kau sembunyikan, inikah alasanmu memutus pertemanan di dunia maya hanya agar kau dapat bebas bercengkrama dengannya? Dan tanpa terasa rintik air mata pun jatuh membasahi pipi. Aku menyesal, benar-benar menyesal bahwa selama ini terlalu percaya diri untuk menaruh kepercayaan padamu. Dan kesempatan yang pernah kau minta dariku, tak ada gunanya sama sekali.
Aku terdiam sejenak, ingin sekali meluapkan amarah namun aku mencoba tenang dan mengingat kembali kisah awalku kenal dengannya, ya aku ingat dulu pernah memiliki sebuah firasat dan memang sudah menduga sejak awal-awal semester, sepertinya ia telah menelusuri seluk beluk diriku tanpa aku sadari dan itu berlangsung sedikit lama sampai akhirnya pertama kita menjalin komunikasi dari sebuah salam yang ia haturkan kepadaku melalui adik kelas yang ku ampu saat aku duduk di semester IV, di situlah aku mengetahui selama ini telah diintai olehnya lewat media sosial. Tak terasa sudah satu semester aku mengenalnya, setelah itu aku tak pernah mendengar kabarnya lagi atau bahkan mendapat pesan darinya.  Dia yang memulai, dan dia juga yang mengakhiri.  Aku belajar dari sosoknya, sosok yang tangguh dan sabar menghadapi masalah, sosok yang mampu menjaga perasaan wanita lain meskipun ia sendiri terluka karenanya. Aku memang bukan seorang pujangga yang pandai menuangkan kata-kata indah seperti dirinya. Kata-kata dengan bahasa tingkat yang lebih tinggi yang terkadang tak mampu ku urai maknanya. Berulang kali aku katakan bahwa aku ini hanyalah seonggok kayu lapuk di tengah pohon-pohon tinggi nan lebat, yang hanya dapat diambil oleh orang yang memang mau memanfaatkannya. Namun, aku masih bersyukur tetap menjadi diri sendiri sampai saat ini.
Taukah kau, sejujurnya aku telah menyimpan perasaan kepadamu, sejak mulai masa putih abu-abu itu terselimut kabut. Namun karena sering terlampau kecewa denganmu, aku pun mencoba mencari yang lebih baik darimu. Namun, ternyata semakin jauh aku mencari, semakin tak mendapat yang lebih baik darimu. Perasaan itu masih aku simpan dan ku bungkam rapat-rapat setiap kau menanyakan keseriusan kepadaku di setiap akhir semester dan hanya ungkapan kebelumsiapan dariku yang kau terima. Aku belum berani mengatakannya saat itu, dan akan aku ungkapkan saat situasi memang sudah tepat. Di samping itu aku juga melihat seberapa besar keseriusanmu kepadaku. Hatiku memang sekeras batu, tapi sekeras-kerasnya batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya, sesuai dengan firman-Nya (02):74. Mungkin terlalu lama kau merasa digantung olehku, dan waktu pun semakin memisahkan tempo pertemuan kita, di saat yang sama kau terbiasa dengannya, sehingga menciptakan sedikit jeda diantara kita. Aku mengaku salah karena telah membuatmu merasa digantung olehku, maaf karena sebenarnya keadaanku masih labil saat itu, aku tak akan berandai-andai tentang masa lalu, ku akui kesalahanku waktu itu, dan berharap jangan sampai jatuh di lubang yang sama.
Memilih satu diantara dua memang hal yang sulit, kita sama-sama pernah mengalami itu. Sadarkah kau, apa yang kau lakukan padanya sama seperti yang orang lain lakukan padaku. Ya, sama-sama teman satu rombel, dan sama-sama dalam satu organisasi. Mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu percaya diri hingga akhirnya pun hanya rasa kecewa yang aku dapatkan. Aku menyesal dan bersimpuh untuk kembali kepada-Nya, semua ini memang murni salahku, bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana aku dapat membuat bubur itu menjadi seenak nasi. Aku melakukan hal yang salah kepadamu dan kau juga melakukan hal yang sama padanya dan padaku. Aku mulai sadar dan belajar menghargai perasaan dari pengalaman itu, dan dari pengalaman-pengalaman lain sebelumnya. Kini dengan hati-hati aku menjaga perasaanmu dan juga perasaanku, sehingga berharap tak ada pihak diantara kita yang merasa dirugikan.
Di awal perjalanan kita memang sudah dihadapkan dengan sebuah rintangan, dan aku tahu kedepan akan ada rintangan yang lebih besar dari sebelumnya untuk menguji ketangguhan. Maka dari itu, jarak diantara kita terkadang membuatku bimbang terhadapmu, namun aku selalu berusaha menaruh kepercayaan kepadamu. Aku hanya berharap masing-masing dari kita tetap menjaga komitmen yang sudah dibangun, komitmen yang disaksikan oleh seorang saksi dan seorang Hakim yang tak pernah tidur mengawasi makhluk-Nya. Disini, aku hanya bisa menyerahkan segala urusanku pada-Nya, termasuk dirimu. Karena aku yakin, semua akan indah dan tepat pada waktu-Nya.
Semoga cerita singkat ini dapat menjadi pelajaran bagi pembaca bahwa sesungguhnya hati (kalbu) bukanlah tempat untuk bermain.
Wassalamu’alaikum wr.wb..
 

Pendapat anda mengenai blog ini ?

like

  • #Udah Putusin Aja
  • As Shirah Nabawiyah
  • Q.S. Ar-Rahman
  • Tahajud Cinta
  • Ya ALLAH Aku Jatuh Cinta

Translate